Sejak proses agenda perumusan soal “bentuk negara” maka bersepakat dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat menjadi “NKRI” dengan demikian selanjutnya merumuskan Dasar Negara yang menjadi falsafah bangsa Indonesia maka pada sidang pertama BPUPKI muncullah kata “Pancasila” yang diperkenalkan oleh Soekarno menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Perlu kita melihat sebuah puncak singkretisme di Era Majapahit pada abad XIV bahwa semboyan Bhinneka tunggal Ika yang ditulis dalam kitab Sutasoma Karya Mpu Tantular adalah beragama penganut Budha Tantrayana yang merasakan hidup aman dan tentram dalam kerajaan Majapahit yang bernafaskan agama Hindu (Ma’arif A. Syafi’i,2011)
Merupakan penemuan karya besar dalam kita Sutasoma dalam merumuskan dasar negara dan menjadi sebuah keakraban nuansa kebatinan para founding fhathers dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangsa Indonesia merdeka juga memiliki kemajemukan beragama, bersuku, beretnis, beradat, berpolitik dan berbahasa bangsa Indonesia dimasa-masa 1.000 tahun mendatang.
Bahwa dengan demikian keberagaman dan perbedaan yang ada justru menjadi sebuah modal yang besar untuk menuju singkretisme agung dan menjauhkan rong-rongan nilai Pancasila dengan dimulai dari diri kita sendiri tidak mudah percaya issue hoax, adu domba dan lain sebagainya.
Bahwa tema pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2023 juga mengingatkan kita pada dikenalkannya Pancasila kepada masyarakat Global Peristiwa itu terjadi pada 30 September 1960. Saat itu Presiden Sukarno diberi kesempatan menyampaikan pidato di Sidang Umum PBB yang berjudul Membangun Dunia Kembali (To Build The World A New).
Dikutip dari situs Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional Indonesia, teks pidato Sukarno di Sidang Umum PBB itu sepanjang 28 halaman. Sedangkan di dalam pidato itu dia menyinggung Pancasila sebanyak 23 kali.
Sukarno lantas membedah makna setiap sila dalam Pancasila.
Pertama adalah soal Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik
dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini,” ucap Sukarno.
Yang kedua, kata Sukarno, adalah soal nasionalisme. Dia mengatakan kekuatan dari nasionalisme Indonesia dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup memberi kekuatan untuk menghadapi penjajahan dan perjuangan meraih kemerdekaan.
Sila ketiga yang menyinggung soal internasionalisme. Menurut dia, pergaulan negara-negara di dunia melalui organisasi seperti PBB akan tumbuh sehat jika setiap bangsa saling menghormati.
Sila keempat yakni praktik demokrasi. Menurut dia, demokrasi bukan monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat.
“Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional,” ujar Sukarno.
Bahwa Demokrasi diejawantahkan dengan sistem Pemilu yang berkedaulatan rakyat mengatur mekanisme pergantian kepemimpinan atau kekuatan suatu negara sudah dilakukan pertama kali tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan di tahun mendatang akan terjadi pemilu yang ke 13 kalinya tahun 2024.
Dan Sila keadilan dan kemakmuran sosial. Menurut Sukarno suatu masyarakat yang makmur bisa menjadi masyarakat yang adil, walaupun kemakmuran itu bisa muncul dalam ketidakadilan sosial.
Sila ke empat dan kelima dapat dikatakan seperti dua sisi logam yang tidak terpisahkan karena demokrasi secara prosedural itu ada pada sila ke empat yang berkaitan dengan proses pergantian kekuasaan sebuah negara, sila kelima ada demokrasi yang subtansional yaitu kekuasaan yang telah dimenangkan melalui pemilu adalah digunakan untuk keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.