Jakarta – Lingkar Diskusi Indonesia (LiDI), menggelar diskusi publik bertajuk “Mencermati Pro & Kontra, serta Dampak Sistem Pemilu Proposional Tertutup di tengah Proses Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi”, pada (Kamis, 09/02/23).
Diskusi publik tersebut merupakan kegiatan rutin dalam membahas perkembangan serta dinamika isu-isu perpolitikan yang sedang menjadi polemik di masyarakat.
Berawal dari Judicial review atau uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika judicial review yang teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 itu dikabulkan MK, maka sistem pemilu pada 2024 akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup akan membuat para pemilih hanya melihat logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif (pileg).
Sementara dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun calon anggota legislatif yang diinginkannya. Sistem proporsional terbuka mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.
Sebelumnya, sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Kemudian, dengan sejumlah argumentasi untuk menyempurnakan sistem demokrasi, para pengambil kebijakan memutuskan untuk menggunakan sistem proporsional terbuka yang kemudian kita gunakan hingga saat ini.
Sistem ini sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Diketahui PDIP menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang mendukung perubahan sistem tersebut dari delapan fraksi lainnya, seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, Nasdem, PPP, dan PKS, yang malah sebaliknya.
Adapun yang disampikan oleh Luqman Hakim (Anggota DPR RI F-PKB), Lukman mencermati gugatan terhadap sistem proporsional terbuka yang ada di dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah mencermati seluruh Petitum yang diajukan.
“Saya menilai para penggugat bersama kuasa hukum yang mereka tunjuk, kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan, gagal memahami alur Pemilu. Sehingga Petitum yang diajukan terlihat irrasional, absurd dan kacau. Maka, apabila Petitum yang mereka ajukan dikabulkan MK, akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang”, tandas Lukman.
Ia melanjutkan, “pada Pasal 420 UU Pemilu khususnya huruf (d) ini mengatur tatacara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague. Yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
“Perhitungan ini untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh, menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan ketika masuk tahapan pembagian kursi bagi peserta pemilu. tanpa pasal tersebut, tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemiliha. Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420, maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu Kacau”, pungkasnya.
Menurutnya, mencontohkan satu petitum yang diajukan penggugat, yakni terhadap Pasal 422 UU Pemilu. Para penggugat meminta agar bunyi pasal ini diubah menjadi “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Pemilu di suatu daerah pemilihan. Sementara naskah asli Pasal 422 UU Pemilu berbunyi Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara. Saya apabila petitum Pasal 422 UU Pemilu ini dikabulkan MK, akan menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen yang diperoleh partai politik.
Dengan petitum seperti itu, partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai. Sungguh parah!. Selain itu, Petitum yang diajukan para penggugat terhadap Pasal 422 juga bertentangan dengan ketentuan afirmasi kepada calon parlemen perempuan sebagaimana diatur pada Pasal 245 dan Pasal 246 UU Pemilu.
Dia meyakini keilmuan dan integritas hakim-hakim MK. Mereka pasti memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat dan akibat-akibat apa yang akan ditumbulkan bagi pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Oleh karena itu, saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat. Dengan demikian, maka pelaksanaan pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat.
Sementara itu Komisioner KPU RI yang diwakili Idham Kholik mengatakan “KPU RI berkomitmen untuk menyelenggarakan Pemilu Tahun 2024 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu dan dikuatkan oleh Putusan MK RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008”.
Ada 6 poin kesimpulan rapat tersebut. berikut perbedaan pemilu sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup menurut Idham Kholik :
1. Pelaksanaan pada pemilu proporsional terbuka, parpol mengajukan daftar calon yang tidak disusun berdasarkan nomor urut dan tanpa nomor di depan nama. Namun biasanya susunannya hanya berdasarkan abjad atau undian. Sedangkan pada pemilu proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik.
2. Metode pemberian suara. Pada pemilu sistem proporsional terbuka, pemilih memilih salah satu nama calon. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik.
3. Penetapan calon terpilih. Pada pemilu sistem proporsional terbuka, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.
4. Derajat keterwakilan. Pada pemilu sistem proporsional terbuka, memiliki derajat keterwakilan yang tinggi karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung. Sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang atau caleg terpilih yang dipilihnya. Sementara pada pemilu sistem proporsional tertutup, kurang demokratis karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif. Pilihan partai politik belum tentu pilihan pemilih.
5. Tingkat kesetaraan calon. Pada pemilu sistem proporsional terbuka, memungkinkan hadirnya kader yang tumbuh dan besar dari bawah dan menang karena adanya dukungan massa. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional terbuka, didominasi kader yang mengakar ke atas karena kedekatannya dengan elite parpol, bukan karena dukungan massa.
6. Jumlah kursi dan daftar kandidat. Pada pemilu sistem proporsional terbuka, partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Sebaliknya, pada pemilu sistem proporsional tertutup, setiap partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan atau dapil.
Menurut Idham Kholik, kelebihan dan kekurangan sistem proporsional terbuka dan tertutup Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih memiih langsung wakil-wakil legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politiknya saja. Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik. Melalui sistem proporsional tertutup, setiap partai memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil).
“Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih parpol.Kemudian setelah perolehan suara dihitung, maka penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih akan memilih satu nama calon anggota legislatif sesuai aspirasinya.
“Dalam sistem proporsional terbuka, partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Setelah itu, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Indonesia menjalankan pemilu sistem proporsional terbuka pada Pemilu legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019. Indonesia pernah menjalankan pemilu sistem proporsional tertutup pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999. Nah, itulah perbedaan sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup, termasuk kelebihan dan kekurangannya serta penjelasannya. Apapun sistem yang di putuskan oleh MK kita KPU RI akan laksanakan”. ujar Idham.
Dalam kesempatan ini Khoirul Umam Pengamat Politik juga menyampaikan “bahwa sistem proporsional tertutup adalah sebuah langkah mundur dalam konteks upaya menghadirkan Pemilu yang transparan dan acountable.Ini sebuah catatan serius terhadap kemunduran demokrasi. Penerapan sistem proporsional tertutup membuka ruang kembali menguatnya politik aliran atau stream politics. mayarakat membutuhkan ruang lebih terbuka. Mereka tidak ingin membeli kucing dalam karung. jika sistem proposional tertutup dikembalikan kepada otoritas partai, maka sistem ini akan memberi ruang kepada money politic. Alokasi dana dan sebaran logistik yang justru selama ini dihindari mulai mencair dalam konteks relasi elit politik”, katanya.
Kendati demikian. “Upaya pengembalian sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum (Pemilu) dinilai akan mengokohkan oligarki dan hegemoni politik di Tanah Air, menguatnya oligarki dan hegemoni politik bisa terjadi. Terlebih, salah satu alasan upaya pengembalian sistem proporsional tertutup karena praktik buruk politik uang dalam sistem proporsional terbuka. Jika praktik money politics menjadi concern utama pengembalian sistem proporsional tertutup, maka sistem itu justru akan mengokohkan kooptasi oligarki dan hegemoni politik yang akan membuat demokrasi tidak lagi relevan di Indonesia.
Adapun yang dimaksud sistem proporsional tertutup, yakni partai politik (parpol) mengajukan daftar calon legislatif (caleg) yang disusun berdasarkan nomor urut. Nantinya, nomor urut ditentukan oleh parpol. Melalui sistem proporsional tertutup, setiap parpol memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil). Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih parpol, bukan calon wakilnya di parlemen.
“Saya menilai sistem proporsional tertutup bisa menguntungkan, membunuh dan menggerus parpol tertentu. Sebab, sistem proporsional tertutup dianggap dapat menciptakan sistem kekuasaan yang semakin sentralistik dan mudah dikooptasi oleh elite parpol tertentu. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sistem ini memaksa caleg-caleg dengan logistik dan jaringan kuat untuk masuk ke parpol yang sentralistik dan memiliki party-identification (party-ID) yang kuat”, menurutnya.
Umam menjelaskan bahwa, pemberlakuan sistem proporsional tertutup akan menguntungkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) selaku partai pemilik party-ID yang lebih besar. Di sisi lain, sistem proporsional tertutup berpeluang membuat kekuatan Golkar paling tergerus signifikan karena banyaknya varian kekuatan politik di dalamnya. Di saat yang sama, sistem proporsional tertutup ini berpeluang membunuh PAN dan PPP karena terbatasnya party-ID dan tokoh khatismatik di dalamnya. sistem proporsional tertutup berpeluang semakin menguatkan stream politics atau praktik politik aliran yang selama ini kian mencair di era pasca-reformasi. menguatnya politik aliran ini akan membuat politik nasional semakin terpolarisasi. Jika itu terjadi, praktik hoaks, hate speech atau ujaran kebencian dan character assasination atau upaya pembunuhan karakter terhadap lawan politik akan dianggap sebagai alat paling efektif untuk mengonsolidasikan sentimen dukungan elektoral parpol.
Sebenarnya, “pemberlakuan sistem proporsional terbuka merupakan langkah modernisasi sistem kepartaian. Esensinya, rakyat harus paham siapa wakilnya. Sehingga wakil rakyat benar-benar representatif dan bisa dievaluasi oleh pemilihnya”. Tandasnya.
Dalam kesempatan ini Heroik Pratama (Peneliti Senior Perludem yang merupakan lembaga pemantau Pemilu yang sangat eksis dan aktif di Mahkamah Konstitusi sebagai pihak terkait Judicial Review sistem Pemilu tersebut menegaskan bahwa.
“Sistem pemilu proposional daftar terbuka mengharuskan pemilih untuk memilih nama atau foto kandidat yang tersedia di surat suara. dipandangnya Mekanisme ini meminta partai politik untuk menyediakan daftar kandidat wakil rakyat untuk dimasukkan ke dalam surat suara dan kandidat yang meraih suara terbanyak terpilih sebagai wakil rakyat. Kelebihan dari sistem ini ialah adanya kedekatan antara pemilih dengan kandidat, kemudian pemilih bisa memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang disenangi sesuai dengan preferensinya. Adapun kekurangan dari daftar terbuka ialah mereduksi peran partai politik, terciptanya kontestasi antarkandidat di internal partai, dan membuka ruang politik uang. Adapun sistem pemilu proposional daftar tertutup menginstruksikan pemilih untuk memilih tanda gambar atau lambang partai yang tertera dalam surat suara karena tidak tersedia liskandidat wakil disurat suara. Akan tetapi, partai politik tetap menyediakan daftar nama kandidat wakil rakyat yang diurutkan berdasarkan nomor terkecil hingga terbesar (1,2,3,4,5,6) dengan aturan main nomor urut pertama berhak meraih kursi pertama di lembaga perwakilan. Sistem pemilu proposional daftar terbuka dan daftar tertutup, keduanya pernah Indonesia terapkan dari empat pemilu pascareformasi. Pemilu 1999 hadir di bawah sistem proposional daftar terbuka, kemudian Pemilu 2004 dengan sistem pemilu semiterbuka, serta Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 menggunakan sistem pemilu daftar terbuka”. ungkapnya.
Sikap Perludem sendiri sangat mengkritik tajam banyak dilontarkan dari dua pemilu terakhir yang menerapkan sistem pemilu proposional daftar terbuka. Semakin terbuka dan masifnya praktik politik uang, lemahnya kontrol partai politik terhadap kandidat, tertutupnya akses kader-kader ideologis partai untuk dicalonkan akibat hanya kandidat yang memiliki modal finansialdanpopularitassemata yang memiliki peluang untuk terpilih di tengah aturan suara terbanyak. Hal ini menjadi basis argumentasi yang melatarbelakangi perubahan sistem pemilu proposional daftar terbuka di pemilu berikutnya.
“Jika memang demikian persoalannya, apakah mengubah sistem pemilu proporsional daftar terbuka menjadi proporsional daftar tertutup mampu menyelesaikan persoalan? Mengingat dalam sistem pemilu daftar tertutup sekalipun potensi politik uang masih ada, termasuk tertutupnya ruang kader partai politik yang ideologis untuk mencalonkan karena kewenangan pencalonan sepenuhnya berada di elite partai politik” ungkap Heroik.
Dengan demikian menurutnya, bukankah akar persoalan sebenarnya terletak pada metode pencalonan atau seleksi kandidat di internal partai dan penegakan hukum pemilu, bukan pada jenis sistem pemilu proposional daftar terbuka atau tertutup yang digunakan Kelebihan sistem ini ialah meningkatkan peran partai dan mendorong institusionalisasi partai politik. Tetapi di tengah dominasi peran partai yang meningkat, seringkalisistempemilu daftar tertutup mengondisikan mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup pula, ditambahdenganmenguatnya oligarki di internal partai, serta terbukanya ruang politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut. Sistem pemilu proposional daftar terbuka dan daftar tertutup, keduanya pernah Indonesia terapkan dari empat pemilu pascareformasi. Pemilu 1999 hadir di bawah sistem proposional daftar terbuka, kemudian Pemilu 2004 dengan sistem pemilu semiterbuka, serta Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 menggunakan sistem pemilu daftar terbuka.
Kritik tajam banyak dilontarkan dari dua pemilu terakhir yang menerapkan sistem pemilu proposional daftar terbuka. Semakin terbuka dan masifnya praktik politik uang, lemahnya kontrol partai politik terhadap kandidat, tertutupnya akses kader-kader ideologis partai untuk dicalonkan akibat hanya kandidat yang memiliki modal finansialdanpopularitassemata yang memiliki peluang untuk terpilih di tengah aturan suara terbanyak.
Heroik menambahkan bahwa, hal ini menjadi basis argumentasi yang melatarbelakangi perubahan sistem pemilu proposional daftar terbuka di pemilu berikutnya. Jika memang demikian persoalannya, apakah mengubah sistem pemilu proporsional daftar terbuka menjadi proporsional daftar tertutup mampu menyelesaikan persoalan? Mengingat dalam sistem pemilu daftar tertutup sekalipun potensi politik uang masih ada, termasuk tertutupnya ruang kader partai politik yang ideologis untuk mencalonkan karena kewenangan pencalonan sepenuhnya berada di elite partai politik. Katanya.
“Dengan demikian, bukankah akar persoalan sebenarnya terletak pada metode pencalonan atau seleksi kandidat di internal partai dan penegakan hukum pemilu, bukan pada jenis sistem pemilu proposional daftar terbuka atau tertutup yang digunakan”. Tutupnya.(red)