Jakarta – Bentrokan antara aparat kepolisian dan masyarakat Pulau Rempang menjadi sorotan berbagai kalangan dan ramai diperbincangkan publik. Berawal dari usulan Pulau Rempang masuk dalam Proyek Strategis Nasional Kawasan Rempang ECO City yang disponsori PT.MEG anak perusahaan milik Tomy Winata dan BP Batam dengan nilai proyek ratusan trilyun.
Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEM Indonesia) Yaser Hatim menilai bahwa proyek tersebut tidak memperhitungkan dampak sosiologis masyarakat pulau Rempang, karena jalan yang dipilih pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah jalan kekerasan lewat tangan Polri.
“Ganti rugi yang didapatkan tidak merata dan tentunya tidak bisa menjamin kehidupan masyarakat Pulau Rempang kedepan. Ribuan keluarga dipaksa meninggalkan tanah kelahiran dan dilenyapkan kehidupannya seperti tidak punya hak untuk tinggal dan hidup menumpang dinegeri ini, ditambah lagi refresifitas Polri yang ugal ugalan mengesankan Polri bekerja dibawah telunjuk investor” Katanya kepada Wartawan, di Jakarta, Sabtu (9/923).
Pengawalan dan pengamanan aparat kepolisian dalam menertibkan proses relokasi masyarakat Rempang dari tindakan represif aparat keamanan menghadapi protes dan perlawanan dari masyarakat Rempang.
Yaser menilai tembakan peluru karet dan gas air mata secara sporadis tanpa pandang bulu menyisakan pilu di bumi Rempang. Kondisi tersebut, membuat bersatunya masyarakat yang dirugikan bangkit melawan untuk menuntut hak – haknya.
“Hal ini menjadi dasar bahwa humanisme aparat keamanan hilang ditelan kekuasaan yang menindas. kepentingan bisnis si Fulan atas nama pembangunan kemudian rakyat Rempang yang dikorbankan,” ujarnya.
Menurut Yaser, Masyarakat Rempang butuh dialog yang setara antar sesama anak bangsa tentang nasib mereka kedepannya.
Tindakan pengusiran paksa masyarakat Rempang dari tanah tempat tinggalnya tentu hanya memperpanjang persoalan.
“Protes sampai perlawanan pasti akan terus berlanjut karena kebuntuan dan ketidakjelasan proses pembayaran ganti rugi dan jaminan keberlanjutan kehidupan masyarakat Rempang yang dirampas penguasa dan pemodal,” tuturnya.
Yaser juga menambahkan keberpihakan aparat keamanan/kepolisian sudah jelas dan memperlakukan masyarakat Rempang sebagai lawan yang harus disingkirkan karena menghambat pembangunan. Aparat keamanan dan abdi negara harus berpihak pada rakyat bukan pada pemodal atau proyek pembangunan yang belum tentu mensejahterakan rakyat. Apalagi proyek Rempang ecocity dipastikan 80 tahun Return of Invesmentnya melampaui angka harapan hidup manusia Indonesia, terlebih lagi disupport APBN yang berasal dari rakyat.
“Bentrokan masyarakat Pulau Rempang tentu akan berlanjut dan berefek ketempat lain karena sudah banyak peristiwa serupa yang belum selesai seperti perlawanan Masyarakat Wadas dan lainnya,” tutupnya.