Menjadi Akademisi: Tuntutan Atau Tantangan?
Oleh : Rofi’atul Windariana
Akademisi merupakan orang yang berpendidikan tinggi. Termasuk di dalamnya, mahasiswa, sarjana, doktor, profesor, dan orang-orang yang bergelut dalam bidang pendidikan atau pegiat pendidikan. Menjadi seorang akademisi seolah dilema, antara posisinya sebagai sebuah tuntutan atau posisinya sebagai tantangan. Sebenarnya, dua hal tersebut tidak selalu saling beroposisi biner. Akan tetapi dapat saling dikompromikan dan terkadang terjalin saling berkelindan satu sama lain.
Dalam konteks pendidikan yang lebih luas. Dunia menjadikan tingkat pendidikan sebagai indikator dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Sehingga, setiap negara berlomba lomba meningkatkan kualitas warga negaranya. Menghadapi keberlangsungan siklus globalisasi dan ketatnya arus industri menuntut ketahanan suatu bangsa agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Tentu, ketahanan itu harus saling bersinergi dengan inteligensi sumber daya manusianya. Tuntutan tadi, melahirkan istilah-istilah praktisi dan akademisi. Apabila praktisi, cenderung didominasi praktik dan sebagai pelaku indudtri, maka seorang akademisi adalah orang-orang yang bergelut di bidang akademik. Di satu sisi, setiap orang diberi kebebasan menentukan arah hidupnya. Namun di sisi lain. Ia dihadapakan pada seleksi globalisasi yang menuntut setiap orang harus memiliki skill agar mampu bertahan.
Dalam menentukan posisinya sebagai tuntutan atau tantangan, atau relasi keduanya dapat dilihat dari kondisi global Indonesia. Penting diketahui bahwa Badan Pusat Statistik mencatat akan ada 2,6 juta jenis pekerjaan dalam 5 tahun ke depan yang akan tergantikan fungsinya oleh mesin dengan sistem otomasi. Serta sebanyak 50,17% tenaga kerja lulusan sekolah menengah banyak yang tidak terserap dalam pasar kerja. Melihat kondisi ini, tidak dapat dielakkan bahwa menjadi akademisi adalah tuntutan agar ia mampu bersaing di pasar kerja, terutama di ranah akademik
Globalisasi dan revolusi industri adalah fenomena yang menuntut seseorang memiliki keahlian di bidangmya, sehingga orang orang yang tidak memiliki riwayat pendidikan tinggi akan tersisihkan. Hanya orang-orang dengan keahlian tertentu dan skill tertentu yang nantinya akan bertahan dalam persaingan global. Meskipun, indikator seorang dapat disebut akademisi hanya berdasarkan riwayat pendidikan dan seberapa bergelut ia dalam bidang pendidikan. Bukan berarti jalan untuk sukses akan selalu mulus. Karena mau tidak mau, ia akan bersaing dengan akademisi-akademisi lain di ranah akademik yang sangat selektif.
Sederhananya, akademisi menjadi tuntutan bagi setiap orang agar dapat bertahan di tengah globalisasi serta dampak-dampaknya. Salah satunya adalah persaingan dalam segala aspek baik industri, pendidikan, dan lain sebagainya yang sudah semakin sengit. Tidak hanya sesama akademisi, tetapi dengan praktisi-praktisi yang lebih kompeten dan terlatih. Di bidang akademik sendiri, tiap tahunnya melahirkan sarjana-sarjana, doktor, dan profesor-profesor baru yang memiliki spesifikasi keimuwan. Sehingga hal itu menjadi tantangan bagi akademisi-akademisi baru yang belum jelas orientasi akademiknya atau tidak jelas spesifiksi keilmuwannya. Setidaknya, skill akademik dapat menjadi bekal agar bisa lolos dari pengangguran.
Selain pertimbangan dalam prospek kerja di atas. Seorang akademisi dituntut dapat meminimalisir dampak digitalisasi semisal hoax, ujaran kebencian dan matinya kepakaran yang sedang melanda negara-negara lain akibat minimnya literasi. Karena gelar akademisi membawa tanggung jawab moral dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Apalagi fenomena yang akan terjadi di tahun 2045, yang disebut bonus demografi, yaitu pelonjakan populasi penduduk produktif. Apabila tidak diimbangi dengan skill akademik justru akan menjadi ancaman. Dalam ranah akademik, akan meningkatkan resiko pengangguran terdidik. Maka dari itu, sosok akademisi adalah tuntutan agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan keilmuwan dan dapat bersaing di ranah akademik. Di sisi lain, itu merupakan tantangan untuk tetap selalu progresif dan tidak stagnan, seorang akademisi harus lebih berorientasi ke depan. Karena digitalisasi, revolusi industri 4.0, dan segala dampaknya akan selalu dinamis.
Penulis adalah kader HMI Komisariat IAIN Madura