Oleh : Sadam Syarif (Fungsionaris PB HMI)
Menyoroti sisi liar pasal-pasal dalam “Undang-Undang” Jumbo Omni bus law Ciptaker seperti tak pernah ada enaknya. Di samping pasal demi pasalnya Sangat memicu adrenalin kritisisme di tengah fenomena post-demokrasi negara yang cenderung anti kritik, setiap versi (R)UU yang dipoles secara lihai oleh panitia kerja atau badan legislasi Dewan “Perwakilan” Rakyat dan Pemerintah, justru lahir di tengah-tengah kehidupan bangsa dalam kondisi cacat prosedural. Meski harus menuai penolakan dari hampir semua elemen bangsa baik buruh, intelektual, akademisi, mahasiswa hingga pelajar, “pengesahan” (R)UU yang terindikasi positif berafiliasi dengan para aligarki ini tak sempat lagi untuk ditarik. Akibatnya hari-hari kehidupan sosial-politik bangsa pun terpaksa dihiasi dengan puluhan aksi demonstrasi buruh dan mahasiswa di berbagai kota besar, saat statistik mencatat kasus Pandemi Covid-19 sedang tinggi.
Setelah membedah versi terakhir UU Omnibus Law Ciptaker yang konon sudah diserahkan ke presiden RI, ditemukan Salah satu pasal yang sangat penting untuk ditinjau lebih lanjut untuk dikoreksi mengingat luasnya dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Setidaknya, bagi masa depan puluhan juta petani Indonesia berikut anggota keluarganya. Adapun pasal yang dimaksud adalah pasal 14 dalam paragraf 11 tentang Kesehatan, obat dan Makanan pada halaman 307. Pasal ini merupakan pasal perubahan dari pasal 14 UU nomor 18 tahun 2012.
Seperti yang dijumpai Dalam ayat 1 pasal 14 paragraf 11 UU Omnibus Law Ciptaker, diterangkan bahwa, Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari:
a. Produksi Pangan dalam negeri;
b. Cadangan Pangan Nasional; dan/atau
c. Impor.
Jika dibandingkan dengan rujukannya, UU 18 tahun 2012 yang mengamanahkan bahwa, Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional. (2) Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan.
Dalam konteks UU Omni bus law Ciptaker poin (c) ayat 1 pasal 14 di atas terjelaskan bahwa, kegiatan importasi produk pangan merupakan salah satu agenda prioritas yang dibenarkan dan terlegitimasi oleh UU. Secara historis statistik Memberikan ruang legitimasi yang luas dan setara dengan produksi pangan dalam negeri. Aktivitas importasi produk pangan yang langsung dilegitimasi UU seperti ini hanya akan menimbulkan beban persaingan pasar yang signifikan bagi produk pangan dalam negeri. Di satu sisi produk impor akan menyisihkan produk pangan dalam negeri karena kalah secara “kualitas” dan kuantitas, di sisi lain, harga produk pangan impor yang murah meriah dalam jangka panjang akan menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar bagi komoditas pertanian asing. Semakin lama indonesia malah ketergantungan terhadap bahan makanan yang di impor dari Luar. Pemerintah juga dapat menetapkan kebijakan perdagangan internasional, melalui kebijakan impor tersebut pemerintah dapat mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk melindungi dan mendorong perekonomian domestik dan penghematan devisa. Dampaknya, Secara langsung petani Indonesia akan menjadi korban Knock Out oleh double punch produk import.
Meskipun pada ayat 2, dijelaskan bahwa, Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan non tarif. Namun, perlu kita garis bawahi kalimat “melalui kebijakan tarif dan non tarif” dalam penggalan ayat (2) pasal 14 (R)UU omnibus Law Cipta kerja ini. Potensi Koreksi terhadap kebijakan Non Tariff Meaures (NTM) yang dianggap menjadi penghambat laju importasi produk pangan akan menjadi tanda bahaya membanjirnya produk pangan di pasar lokal, bahkan hingga ke desa-desa. Mimpi kemandirian dan kedaulatan pangan nasional hanya akan menjadi harapan semu.
Kebijakan Non Tariff Measures (NTM) atau hambatan non tarif dalam perdagangan memengaruhi tingginya harga pangan. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mendefinisikan kebijakan NTM sebagai berbagai bentuk kebijakan selain tarif bea cukai yang memengaruhi perdagangan internasional di perbatasan dengan mengubah jumlah yang diperdagangkan, harga atau keduanya. Standart NTM yang ketat dengan ketentuan Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Techincal Barriers to Trade (TBT) memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui atau pun diterapkan oleh negara-negara maju.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan banyak kebijakan NTM, salah satunya pada perdagangan pangan. Penerapan NTM di sektor pangan, oleh sebagian oknum pengusaha importir dianggap berdampak besar bagi ketahanan pangan karena memengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi. NTM bahkan disebut sebagai hambatan dalam perdagangan.
Dalam urusan ekspor komoditas pangan dan pertanian ternyata posisi Indonesia selama 24 tahun (1995-2017) tidak banyak berubah, yaitu hanya memberikan kontribusi terhadap nilai ekspor pangan dan pertanian dunia sebesar 1.0 persen pada tahun 1995 menjadi 1.1 persen pada tahun 2017. Nilai ekspor pangan dan pertanian Indonesia pada 1995 mencapai US$ 3.6 milyar dan pada 2017 hanya mencapai US$ 12.8 milyar. Namun demikian pertumbuhan impor dari komoditas pertanian dan pangan oleh Indonesia jauh melebihi pertumbuhan nilai ekspornya, yaitu 18.66 persen/tahun.
Pada tahun 2017 nilai ekspor komoditas pertanian dan pangan Indonesia mencapai US$ 12.8 milyar sedangkan nilai impornya mencapai US$ 14.3 milyar. Melansir data Badan Pusat Statisik (BPS), impor beras mencapai 2,25 juta ton pada 2018. Jumlah itu meningkat pesat dari 305,27 ribu pada 2017. Sehingga pemerintah tidak melakukan impor pada 2019. Adapun tercatat realisasi impor beras sebanyak 444,5 ribu ton pada tahun lalu.
Potensi Deindustrialisasi Pertanian
Yayusofiana, melalui artikel ilmiahnya yang berjudul “Dampak Kebijakan Pemerintah Dalam Mengimpor Beras Terhadap Ketahanan Pangan Di Indonesia” menyimpulkan bahwa, Pengalihan Fungsi lahan pertanian menjadi lahan Industri menjadi Salah satu dampaknya dari kebijakan pengimporan oleh pemerintah. masyarakat atau petani lebih memilih untuk menjual lahan pertanian mereka untuk pembangunan perumahan-perumahan, kantor-kantor, dan industri lainnya. Karena tingginya tawaran yang tawar oleh pengusaha-pengusaha untuk membeli tanah mereka. Masyarakat jadi memilih untuk menjualnya karena hasil yang mereka peroleh dari produksi pertanianya juga tidak tinggi. Akibatnya penyediaan ketahanan pangan menjadi berkurang. Yang dimana seharusnya lahan-lahan pertanian yang seharusnya digunakan untuk memproduksi bahan pangan malah dialih fungsikan untuk Bangunan-bangunan industri.
Data alih fungsi lahan pertanian Indonesia berdasarkan hitungan tahun 2013 oleh BPN, luas baku sawah masih 7,75 juta ha atau susut 650.000 ha. Sementara Berdasarkan penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) saat menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) pertama kali tahun 2018, luas baku sawah nasional hanya 7,1 juta ha Dengan kata lain, dalam kurun 5 tahun luas lahan baku sawah hilang 130.000 ha/tahun. Gambaran sederhana data alih fungsi lahan pertanian ini dipastikan akan semakin meningkat pada era omnibus law Ciptaker yang sejak awal mengincar lahan-lahan masyarakat guna memenuhi permintaan investasi. Kutukan negara agraris akan benar-benar menghantui di tahun-tahun yang akan datang, di mana semangat importasi pangan secara langsung akan berpengaruh pada hilangnya penggunaan dan penguasaan lahan pertanian atau yang kami sebut dengan “Deindustrialisasi pertanian” oleh negara terhadap petani dan bangsanya.