Oleh: Ghazali Wulakada
Sebulan lalu, staf saya mengajukan nama seorang notaris yang berkedudukan di Bogor. Rencananya dia yang akan menangani dokumen pendirian perusahaan baru saya. Kami membuat suatu janji makan siang untuk melakukan penanda tanganan semua dokumen perusahaan. Melihat saya yang berwajah khas timur (Flores), maka perbincangan kami menjadi panjang.
Notaris itu adalah salah satu teman kuliah dari Viktor Laiskodat. Saya sempat bertanya tentang bagaimana sosok Viktor di mata beliau. Menurut kesaksiannya,Viktor adalah sosok pemberani, kadang-kadang nekat, tidak takut pada siapa saja, jangankan kawan/ senior, dosen pun dilawan, bilamana gagasan dan pemikirannya tidak seiring dengannya.
Tetapi memang Viktor memiliki kelemahan soal muatan dan isi. Kalau soal wadah ok–lah. Maksudnya Viktor kalau bicara berani, tetapi kadang kurang berisi. Dahulu mereka bersama-sama masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beberapa semester kemudian, Viktor didropout dari UI akibat kenakalan di dalam dan di luar kampus yang mengakibatkannya masuk penjara sebagai terpidana. Viktor kemudian melakukan protes atas keputusan kampus tersebut, habis tak berdaya, akhirnya Viktor pindah ke salah satu perguruan tinggi khusus hukum di Jakarta.
Satu yang ada pada Viktor hingga membuat dirinya sebesar ini adalah sikapnya yang loyal dan setia. Loyalitas dan kegigihannya membuat pengusaha Tomy Winata mempersuntingkan salah satu saudari perempuannya dengan Viktor. Secepat kilat Viktor tersulap dari NTT yang garing gerontong menjadi saudagar bergelimanga harta. Tetapi sekali lagi semua itu karena kerja keras, kesetiaan, luka dan demdam dalam satu wadah batin saudara Viktor Laiskodat.
Tiba-tiba karena tugas politik, Viktor yang miskin literatur itu dipaksakan memberikan pidato di atas mimbar politik dalam rangka pemilihan bupati Kabupaten Kupang 2018 mendatang. Berbeda dari analisis para aktivis dan teoritis politik dan khilafah, bagi saya sangat sederhana saja memahami logika Viktor: (a) Media yang menjadi konsumsi utama Viktor sekaligus para staf politiknya itu adalah Metro berikut turunan media holdingnya. Jelas saja dia terinjeksi racun Metro yang luar biasa, hingga meradang nalar sehatnya sebagai orang NTT dan juga politisi besar. (b) Juru bisik sekaligus konseptor materi dan/atau teks pidato dari Viktor itu tidak pernah belajar dan mengkaji esensi khilafah dalam Islam. Jelas saja pengarahannya membuat Viktor menjadi sosok intoleran dan terlihat sangat bodoh. (c) Psikologinya sebagai politisi ber-uang dari partai sebesar Nasdem itu membuatnya berbesar dada hingga hati dan jiwa pun semakin terlihat kecil di dalamnya. Semua pernyataan Viktor terkait “Khilafah”saya anggap itu karena Kebodohannya; serta pernyataan Viktor terkait “partai pendukung kelompok ekstrimis” itu karena kepanikannya. Jadi orang bodoh yang panik itu tidak berbahaya. Tapi cukup sekedar sebagai lelucon untuk ditertawai. Jadi sudahlah, masalah ini cukup jadi hiburan saja, tak perlu terlalu diseriuskan.
NTT itu negeri damai, karena lahir besar sampai mati kami dalam keleluhuran suku. Agama itu baru datang kemarin sore di kampung-kampung kami. Agama membawa makna-makna baru dari keyakinan lama kami. Jadi baik Islam dan Katolik itu tidak ada yang menyalahi nilai luhur dari suku-suku kami. Kemampuan serta kedewasaan kita memahami makna inilah yang membuat NTT dikenal sebagai negeri kepulauan damai.
Salah satu ajaran di dalam Islam yang dikenal dengan Khilafah itu kini menjadi viral. Lantaran diungkapkan di muka umum oleh seorang yang tidak pernah mempelajari, memahami, memaknai, apalagi menghayati Khilafah.
Khilafah itu konsep keberjama’ahan tertinggi dalam Islam; sedangkan konsep kepribadian tertinggi dalam Islam itu disebut “kholifah”. Kholifah adalah pencitraan Allah pada dimensi personal, sedang khilafah itu pencitraan Allah pada dimensi society (jama’ah). Izinkan saya memaknai konsep ini dalam bahasa keagamaan Katolik, yang mayoritas dianut oleh saudara-saudara saya di NTT. Makna Yesus sebagai citra Bapa Allah di muka bumi, maka kemudian beliau disebut sebagai anak Bapa. Setiap pribadi manusia dalam pemaknaan itu bisa menjadi anak bapa di muka bumi, karena mereka kholifah di muka bumi. Selanjutnya dalam dimensi Jama’ah/Society, Islam memiliki konsep ideal yang disebut dengan “Khilafah”. Khilafah adalah sebuah tatanan sosial masyarakat yang hidup dan kehidupan mereka disesuaikan dengan kehendak Allah sebagai Tuhan yang diyakini oleh umat Islam. Kehendaknya yang rahman rahim (kasih sayang), damai, saling melindungi dan berbagi, membela yang lemah, menyeru berbuat baik dan melarang pada kemungkaran dll. Bagaimana mewujudkan konsep ideal itu; kita sudah bersepakat untuk melakukannya dalam bingkai dasar; Kepancasilaan, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45.
Celakanya, pembodohan masal untuk menghancurkan Kepancasilaan, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45 ternyata sudah merusak semua lini. Para alim menerima pembelokan makna khilafah hingga mereka menjadi radikalis; penteori di kampus-kampus lebih suka percaya koran dari pada Al Qur’an; aktivis sosial lebih suka berfikir benar dari kedangkalan dan kekerdilan otaknya sendiri sembari meninggalkan firman; sama dengan ketika politisi seperti Viktor itu hanya mau menang dan senang sendiri. Maka disitulah kesalahan kita.
Perantau NTT seperti kami ini pergi merantau dengan menumpang batok tempurung. Mengarungi samudra dengan berbekal nama rindu pada mama. Baik buruk kami di rantau biarkan susahnya kami rasakan, asalkan berita senangnya mama dengar di sana. Siapa pun yang sudah menjadi besar di rantau, sejatinya kecil di kampung sendiri; sesungguhnya generasi pembesar adalah mereka yang tidak menginginkan gemerlapan kota dan kemewahan duniawi, tetapi mereka setia memangku adat agama dan keluhuran suku, tanpa ternodai oleh kepentingan politik dan kedunguan iman. Amien.
Tulisan ini untuk kakanda tertua di suku kami Wulakada Uyelewun, Wulakada Leu Syukur .