All power comes from the people. But where does it go? Bertolt Brecht
Pemilik kedaulatan sesungguhnya dalam negara demokrasi ialah rakyat. Pernyataan Seniman dan Satrawan Jerman abad-20, Bertolt Brecht seolah mengambarkan fenomena demokrasi di tengah bangsa saat ini. Rakyat, Sang Pemilik Kedaulatan hanya berdaulat ketika pesta demokrasi dan setelahnya terlupakan. Elitisme di tingkat pengambilan keputusan yang menyangkut kepublikan berbuahkan penolakan UU Cipta Kerja di Seluruh Indonesia. Hal tersebut sebagai gambaran tidak berjalannya deliberasi antara rakyat, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Demokrasi Prosedural versus Demokrasi Substansial
Pemilu merupakan proses demokrasi di mana proses transisi kekuasaan ditentukan oleh rakyat. Sudah seharusnya rakyat dicerdaskan dengan pendidikan politik yang menjadi tugas partai politik, akan tetapi kewajiban ini tidka berjalan maksimal. Pemilu merupakan masa di mana rakyat akan menentukan pilihan pemimpin dan juga ajang penilaian apakah kader politik ataupun partainya yang telah diberikan kepercayaan lima tahun silam melaksanakan amanah rakyat dengan baik atau hanya menggunakan kekuasaan untuk kepentingan individu dan kepentingan kelompok. Pada bagian inilah tingkat urgensi pendidikan politik sehingga masyarakat tidak terjebak pada politik identitas dalam menentukan pilihan politiknya.
Pemilih yang cerdas akan melahirkan pemimpin yang berintegras dan mampu dalam menjalankan amanah rakyat. Di sinilah letak permasalahanya, jika melihat proses pemilu dikatakan berhasil bukan hanya jika mekanismenya berjalan sesuai dengan aturan akan tetapi lebih penting adalah pesta demokrasi tersebut juga menghasilkan pemimpin yang berkualitas juga. Agar dana publik yang digunakan dalam pembiayaan Pilkada memiliki harga yang setara dengan kualitas pemimpin yang terpilih. Bukan malah sebaliknya anggaran besar untuk pemilu akan tetapi kualitas pemimpin yang terpilih tidak mumpuni dalam menjawab permasalahan rakyat.
Kapasitas, rekam-jejak, dan program dari calon pemimpin harus menjadi perbincangan utama di momen pesta demokrasi, sehingga ada seleksi obyektif dalam menentukan pemimpin. Hal ini guna menghindarkan masyarakat dari perpecahan akibat terjebak pada kepentingan politik identitas untuk memenangkan Pilkada. Pragmatisme politik melahirkan Pilkada yang mengandalkan uang, nama suku, dan agama untuk mendapatkan pilihan suara. Menurut saya, ada satu pilihan alternatif yang bisa kita pakai dalam melakukan pendidikan politik yakni mengadakan serasehan. Forum-forum diskusi antar-warga yang internsif harus diorganisir mulai dari tingkat desa dan melibatkan para tokoh masyrakat dan tokoh muda intelektual. Jurgen Habermas, seorang filosof Jerman kontemporer, melihat bahwa deliberasi di ruang publik menjadi kunci pencapaian dalam demokrasi. Percakapan rasional dari publik akan menjawab berbagai permasalahan sosial dan memenuhi hak-hak rakyat.
Visi Politik Tercerahkan
Politik ialah sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama (Bonnum Commune). Setiap pesta demokrasi seharusnya menjadi momentum berlakunya rasionalitas dalam dialog setara antara elite politik dengan rakyat. Visi-Misi calon pemimpin lebih menentukan dibanding wacana primordialisme. Visi –Misi melahirkan Program yang ditawarkan oleh para calon kepala daerah. Program yang terukur dan menjawab kebutuhan masyarakat menjadi dasar dalam menuntukan pilihan. Politik adalah etika untuk melayani seperti yang diucapkan oleh Founding Father Johanes Leimena. Berpolitik bagi Om Jo adalah dalam rangka bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi. Persis, pada tujuan bernegara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 inilah menjadi tujuan dari proses berdemokrasi. Politik tidak hanya soal meraih kekuasaan, terlebih utama ialah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bisakah kita mempercakapkan hal-hal ini di masa kampanye Pilkada.