Yakusa.id – Belakangan ini banyak sekali perdebatan mengenai pemakaian disinfektan pada bilik disinfeksi. Kenapa sih ada pihak yang bikin bilik disinfeksi? Beberapa universitas, LSM, lembaga pemerintahan (termasuk istana negara) dan bahkan perorangan.
“Karena ini adalah salah satu usaha mereka untuk mencoba mengurangi potensi penularan virus covid19 yang sedang mewabah ini,” kata dr Herlina Septiarti, Selasa (31/3/2020).
Menurutnya, cara terbaik untuk mencegah penularan tentunya dengan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, juga tidak menyentuh area wajah. Tapi seberapa banyak sih orang yang bisa melakukan itu 100 persen?.
“Mungkin kita bisa punya akses ke sabun dan air mengalir tapi tidak menyentuh wajah? Sulit,” ucapnya.
Berbagai pihak termasuk pemerintah juga sudah berusaha dengan melakukan penyemprotan desinfektan di bangunan dan jalanan. Tapi tidak berapa lama mikroorganisme memang akan muncul lagi.
Bilik sterilisasi ini, kata dia, diletakkan di tempat-tempat yang ramai orang lewat, di pintu masuk bangunan yang banyak orang datang. Bukan di depan rumah pribadi.
Cara terbaik untuk menyingkirkan kuman di pakaian adalah dengan mengganti pakaiannya. Tapi kalau kita ada di tempat umum kan sulit.
“Mencuci tangan juga sayangnya tidak bisa di semua tempat. Dan hand sanitizer juga sudah terbatas kan?,” ujarnya.
Dijelaskan, pilihan bahan disinfektan ada banyak. Maka pilihlah yang paling aman dan efektif. Saat ini banyak bilik disinfeksi mengunakan alkohol. Karena walaupun mahal masih bisa didapatkan dan masih jauh lebih mudah didapat dibanding alternatif yang lain.
“Saya dengar komunitas alumni ITB sudah memproduksi bahan alternatif , bahannya; asam asetat, minyak cengkeh,minyak zaitun , dan aquadest yang bukan disinfektan tapi antiseptik.
Lantas tunggu apalagi?,” katanya menjelaskan.
Selain produk alternatif diatas, lanjut dr Herlina Septiarti, memang ada efek dari alkohol yang tidak diinginkan, toh mana ada di dunia ini yang sempurna.
Karenanya, kata dia, SOP penggunaan bilik disinfeksi ini harus dipahami benar-benar oleh Operator dan harus disampaikan dengan baik pada pengguna. “Tutup mata dan mulut saat penyemprotan. Beritahu bahwa akan perih bila menyentuh luka terbuka juga jangan menarik nafas saat penyemprotan,” ujar dia.
Ketua Relawan Gemma 9 ini mengatakan, lagipula bilik disinfeksi ini tidak akan dipakai terlalu sering karena sudah ada banyak pengurangan kegiatan di luar rumah.
“Kita bukan lagi sedang bersiap menghadapi bencana. Saat ini kita sedang dalam keadaan bencana. Berusaha bertahan dan menyelamatkan diri. Wabah ini sudah ada diantara kita. Apa yang bisa dilakukan ya lakukan. Bagi saya, relawan kemanusiaan yang menbantu korban bencana, kita tidak dalam situasi pascabencana. Kita sedang dan dalam keadaan bencana,” ungkapnya.
“Kalau saja kebijakan lockdown total sudah diberlakukan maka mungkin kita tidak perlu membuat bilik disinfeksi. Karena semua orang ada di dalam rumah. Tapi karena kita masih bisa keluar rumah (walaupun katanya mulai ada karantina wilayah) masih harus mencari nafkah, masih ketemu banyak orang, saya pikir bilik disinfeksi masih sangat dibutuhkan tetapi tetap dengan terus menjaga jarak, menjaga daya tahan tubuh, PHBS dan selalu berdoa,” sambungnya.
Sekali lagi, lanjut dia, bilik disinfeksi hanyalah salah satu usaha yang dilakukan untuk menambah berbagai usaha lainnya.
Semua orang, dgn caranya sendiri, sedang berusaha untuk mengurangi atau bahkan mencegah penyebaran covid 19, yang berpotensi dan mengancam jiwa siapapun di muka bumi ini dengan caranya masing-masing.
“Sepatutnya itu dihargai, tanpa menakut nakuti sehingga orang akhirnya tidak melakukan apa-apa. Nah, apakah mereka yang asyik berdebat, dan mengatakan tidak boleh ada bilik sterilisasi, mau bertanggung jawab terhadap meningkatnya risiko jiwa melayang?,” jelasnya. (*)