Jakarta – Jejaring pemeriksa fakta yang digawangi Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta 24 media yang tergabung dalam CekFakta.com berkolaborasi guna menghadapi perhelatan pemilu 2024 mendatang.(14/06).
Komitmen memerangi informasi bohong itu ditandai dengan gelaran Diskusi Publik “Kolaborasi Menangkal Hoaks Menjelang Pemilu 2024”, serta penandatanganan nota kesepahaman bersama anggota CekFakta.com secara daring.
Diskusi menghadirkan pembicara, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, Fritz Siregar, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Agung Dharmajaya, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, dan Wahyu Dhyatmika, Sekjen AMSI yang mewakili CekFakta.com.
Para pembicara menyepakati pentingnya kolaborasi yang lebih kuat dari pengalaman Pemilihan Presiden 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020. Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika 2021 terkait literasi digital di Indonesia, konten politik teridentifikasi yang paling marak dengan informasi bohong, melebihi konten kesehatan, agama, kerusuhan, dan isu lingkungan. Penyebaran konten yang paling tinggi berasal dari media sosial seperti Facebook (71,9%) diikuti aplikasi percakapan Whatsapp (31,5%), dan YouTube (14,9%).
“Yang belakangan sering muncul adalah pernyataan ketua KPU soal pengunduran penyelenggaraan pemilu sampai 2027,” kata Dewa seraya berharap penetapan pelaksanaan pemilihan umum mendatang pada 14 Februari 2024 bakal bisa menangkal sebaran informasi bohong tersebut.
Terkait pengawasan, Fritz Siregar dari Bawaslu mengungkapkan, pihaknya perlu berkolaborasi dengan lebih banyak pihak di luar penyelenggara pemilu. Karena marak peredaran informasi bohong soal pemilu yang meluas di media sosial. Kewenangan Bawaslu terbatas dalam hal ini karena hanya bisa memberi rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) soal konten yang dianggap bermasalah.
“Kominfo hanya mengumpulkan semua disinformasi dan minta kami menyatakannya hoaks atau ujaran kebencian. Perlu pihak ketiga yang menyatakannya, setelah itu (minta) ke platform untuk take down”, imbuh Fritz.
Dia berharap kolaborasi terkait antisipasi informasi bohong soal pemilu ke depannya bisa juga melibatkan penyedia platform seperti Facebook.
“Kami minta jalur pelaporan khusus dalam proses percepatan (pembongkaran informasi bohong) dan blokir konten negatif itu tidak bisa diakses. Penggunaan media sosial ini bakal lebih banyak di (pemilu) 2024. Kolaborasi harus sampai ke tingkat teknis agar bisa dipakai di daerah-daerah”‘ tambah Fritz.
Delegitimasi Pemilu
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menilai peredaran informasi bohong terkait pemilu kian mengkhawatirkan. Sebelumnya, konten itu menyerang peserta pemilu, belakangan malah bisa mendelegitimasi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. “Hingga masyarakat tidak percaya proses pemilu,” kata Khoirunnisa.
Pada sisi lain, sambung dia, regulasi terkait kampanye di media sosial dan internet belum mampu mengantisipasi peredaran informasi bohong. Apalagi undang-undang penyelenggaraan pemilu 2024 masih tetap sama dengan yang sebelumnya. Pendekatan aturannya masih terbatas soal administratif seperti jumlah akun yang didaftarkan ke penyelenggara oleh peserta pemilu.
“Masalahnya bukan pada akun-akun terdaftar tapi pada konten-konten yang bermuatan informasi bohong. Sama seperti aturan pelaporan aliran dana kampanye. Apakah memang dilaporkan belanja iklan di media sosial? Belum lagi risiko (penggunaan) buzzer yang dorong isu tertentu atau membalikkan fakta. Perlu ada antisipasi,” tegas Khoirunnisa sambil menambahkan pentingnya kolaborasi penyelenggara pemilu dan elemen-elemen masyarakat lainnya untuk mencari solusi yang inovatif.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya menyoroti tingginya risiko atau ancaman bagi pemeriksa fakta. Ini tercermin dari maraknya pelaporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik ke polisi terkait konten pemberitaan yang dianggap sarat informasi bohong.
Seharusnya, kata dia, dugaan pelanggaran seperti itu diselesaikan lewat hak jawab dan mediasi di Dewan Pers.
“Hoaks hanya ada di media sosial, karena kalau di media itu namanya pelanggaran kode etik. Apalagi semua media online ada pedoman pemberitaan media siber. Sementara untuk pelanggaran di televisi dan radio ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran),” kata Agung.
Distribusi Hasil Periksa Fakta
Perwakilan CekFakta.com sekaligus Sekretaris Jenderal AMSI, Wahyu Dhyatmika berharap jaringan kerja pemeriksa fakta yang sudah ada sekarang ini bisa berkembang dan kerjanya lebih berdampak menjelang pemilu 2024.
“Kita perlu memastikan para calon pemilih betul-betul mendapatkan informasi kredibel dan akurat tentang berbagai hal dalam proses pemilu. Apalagi penyelenggaraan pemilu akan makin kompleks karena berbarengan di nasional hingga daerah, serta ada residu polarisasi (di masyarakat) selama lima tahun terakhir,” tuturnya.
Selain memperbesar jaringan pemeriksa fakta, Wahyu menambahkan, kolaborasi CekFakta bakal memastikan adanya peningkatan kapasitas bagi pemeriksa fakta dengan standar dan prosedur yang sama. Salah satu pekerjaan rumah CekFakta.com, kata dia, adalah meningkatkan distribusi konten hasil pemeriksaan fakta agar bisa sampai ke publik.
“Kami juga akan beri masukan pada penyedia platform agar ekosistem informasi lebih solid,” tuturnya.
Komitmen guna mewujudkan ekosistem informasi yang kredibel secara kolaboratif itu terlihat dari hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) CekFakta.com yang berlangsung secara daring, sehari sebelumnya. Peserta Rakernas menyepakati Standar Operasional Prosedur Mekanisme Kerja dan Koordinasi Kolaborasi, Standar Operasional Prosedur Advokasi dan Mitigasi Pemeriksa Fakta, dan 17 program kerja untuk periode 2022-2024. Setidaknya ada 4 dari 17 program itu yang berkaitan dengan perhelatan pemilu.
Ada program kerja berupa kampanye kepada peserta pemilu dan publik agar tidak menggunakan mis-disinformasi sebagai konten dan iklan kampanye, sosialisasi penggunaan Undang-Undang Pers, serta kampanye untuk mengedepankan penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Sejak awal pembentukannya kolaborasi CekFakta.com ini mendapat dukungan dari Google News Initiative.
“Kami sangat memperhatikan dampak misinformasi selama pandemi karena ada banyak orang mencari data yang kredibel, serta informasi dan kabar terbaru mengenai kesehatan,” kata Irene Jay Liu, News Lab Lead untuk Google Asia Pacific.
“Kami senang dapat melanjutkan dukungan kami untuk inisiatif penting ini selama beberapa beberapa tahun ke depan dan juga turut senang dengan bertambahnya anggota jaringan pengecek fakta ini”, ujar Irene.(red)