
Jakarta, 27 Juli 2025 — Pemerintah melalui Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) terus menggulirkan sejumlah kebijakan baru yang dinilai proaktif, mulai dari pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Migran hingga fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan senilai Rp100 juta. Skema ini diklaim akan mempercepat proses pelatihan dan keberangkatan calon pekerja migran Indonesia (PMI) dengan bunga ringan 6 persen. Namun, kritik tajam muncul dari berbagai pihak: di balik ambisi finansial, di mana posisi perlindungan?
Menteri Abdul Kadir Karding menyebut langkah ini sebagai reformasi sistem pembiayaan migrasi. Ia juga mengusulkan penyederhanaan proses pelatihan dan sertifikasi dengan mendirikan pusat pelatihan satu atap, atau migrant center, bekerja sama dengan universitas seperti Undip dan Unand. Tapi implementasinya dinilai masih kabur, dan belum menyentuh aspek krusial seperti kontrak kerja, pemahaman hukum, dan mekanisme pengaduan yang kuat.
Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) menilai bahwa skema KUR tanpa perlindungan menyeluruh hanya akan memperluas jebakan utang yang dilegalkan negara. “Jika gagal diberangkatkan atau terjerat kasus di luar negeri, siapa yang menjamin beban ini tidak berbalik ke keluarga di desa?” ujar Ketua JAN, Romadhon Jasn, Minggu (27/7).
Program migrant fund yang akan dikelola oleh BLU juga belum menjelaskan standar akuntabilitas dan transparansi anggaran. Tidak ada informasi terbuka mengenai lembaga penyalur, verifikasi peserta, maupun akses pengawasan publik terhadap aliran dana. Dalam beberapa kasus sebelumnya, program pembiayaan seperti ini justru membuka ruang penyimpangan ketika mekanisme kontrol lemah. “Publik berhak tahu ke mana uang itu mengalir, dan bagaimana negara menjamin tidak ada penumpang gelap di balik nama besar perlindungan migran,” tegas Romadhon.
Proses pelatihan satu atap pun belum menjawab problem klasik: keterbatasan akses bagi warga di daerah pinggiran dan kantong migrasi utama seperti Nusa Tenggara Timur atau Lombok Timur. Digitalisasi informasi dan sentralisasi fasilitas justru berisiko memperbesar jarak dan ketimpangan, bukan menyederhanakan. Pelatihan hukum, pemahaman kontrak kerja, dan penguatan mental sebelum keberangkatan masih menjadi titik lemah.
Romadhon menyebut banyak calon PMI akhirnya kembali mengandalkan jalur informal dan calo, karena informasi resmi tak menjangkau desa-desa pengirim. Ia menambahkan, reformasi tidak boleh berhenti di kota dan gedung pelatihan.
Pemerintah juga belum mempublikasikan daftar agen penyalur PMI (P3MI) bermasalah secara terbuka. Padahal, pencabutan izin terhadap 20 P3MI telah diumumkan sebelumnya. Tanpa daftar resmi dan pelanggaran yang dijelaskan ke publik, masyarakat tetap rentan menjadi korban dari lembaga-lembaga reinkarnasi yang berganti nama.
Menteri Karding memang menekankan perlunya integritas dan loyalitas dalam birokrasi internal melalui retret dan pelatihan berstandar militer. Namun, soliditas internal tidak cukup jika tidak diiringi pembenahan sistem eksternal yang langsung berdampak pada PMI dan keluarga mereka.
Angka kekerasan dan kasus kehilangan hak-hak PMI belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Banyak korban mengaku tidak paham dokumen kontrak dan tidak tahu ke mana harus melapor ketika menghadapi masalah di luar negeri. Pelatihan teknis belum dibarengi dengan penguatan literasi hukum yang memadai.
“Negara cepat menyiapkan pembiayaan, tapi lambat membangun perlindungan. Kalau skema ini gagal menjamin rasa aman, bukan hanya pekerja yang rugi, tapi kepercayaan publik juga ikut runtuh,” pungkas Romadhon.